www.agamamu.blogspot.com

www.agamamu.blogspot.com

Selasa, 19 Juli 2011

HUKUM PERNIKAHAN MUT’AH


NIKAH MUT’AH

Nikah mut’ah adalah pernikahan terhadap seorang perempuan merdeka (jika tidak hal yang menghalangi ) dengan mahar tertentu, hingga batas tenggang waktu tertentu.

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(An-Nisa’. 24)

Dengan dalil ayat diatas sebagian kelompok menghalalkan nikah mut’ah, dan menghukumi pernikahan tersebut sebagai pernikahan yang halal dan tidak dilarang dalam agama.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa memang nikah mut’ah adalah halal dan disyariatkan, tetapi itu terjadi pada awal/permulaan islam, kemudian setelah itu kehalalannya dihapuskan kemudian diharamkan untuk selamanya hingga hari kiamat.

Beberapa hadist yang berbicara tentang keharaman nikah mut’ah

عن سلمة بن الأكوع رضي الله عنه قال: ( رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المتعة ثلاتة أيام, ثم نهى عنها ) رواه مسلم

Dari Salmah bin Akwa’ Ra menuturkan: Rasul Saw pernah membolehkan (sebagai rukhshoh) mut’ah selama tiga hari pada masa perang khaibar, kemudian beliau melarangnya kembali. (HR. Muslim)

وعن علي رضي الله عنه قال: ( نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة عام خيبر ) متفق عليه

Dan dari Ali Ra beliau menuturkan: Rasul Saw telah melarang nikah mut’ah pada masa peperangan Khaibar (HR. Muttafaqun ‘Alaih)

وعن علي رضي الله عنه ( أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن متعة النساء وعن أكل الحمر الأهلية يوم خيبر ) أخرجه السبعة إلا أبا داود

Dan dari Ali Ra: Sesungguhnya Rasul Saw telah melarang menikahi perempuan dengan cara mut’ah, dan juga melarang memakan daging keledai peliharaan pada saat peperangan Khaibar. (HR. Imam tujuh kecuali Abu Daud)

وعن ربيع بن سبرة عن أبيه رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إنى كنت أذنت لكم فى الاستمتاع من النساء, وإن الله قد حرم ذالك إلى يوم القيامة,..............) أخرجه مسلم وأبو داود والنساءي وبن ماجه وأحمد وبن حبان.

Rabi’ bin Samurah menuturkan yang bersumber dari ayahnya Ra: Sesungguhnya Rasul Saw bersabda: Sesungguhnya saya (Rasul) pernah mengizinkan kalian untuk menikahi perempuan dengan cara mut’ah (batas tenggang waktu tertentu), dan ketahuilah seseungguhnya Allah Swt telah mengharamkannya hingga hari kiamat,……… (HR. Muslim, Abu Daud, An-Nasai. Ibnu Majjah, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Jelas sekali dalil-dalil diatas mengharamkan pirnikahan mut’ah tanpa embel-embel, terutama diriwayatkan sendiri oleh Ali bin Abi Thalib Ra

Ada sebagian kelompok yang mengatakan dirinya islam, namun mereka menyatakan bahwa mut’ah hukumnya boleh, entah apakah faktor nafsu dan atau lain sebagainya yang menjadi alasan, sehingga mereka berkeyakinan itu hukumnya boleh.

Ada yang berkilah dengan dalil agama sekalipun mereka belum tahu secara persisi duduk sumber hukum yang ada, namun menurut hemat penulis itu hanyalah kedok mengumbar birahi bersampul agama, mengapa demikian.? Karena mengapa harus mut’ah, sedangkan ia mampu menikah, bukankah pernikahan selayaknya disegerakan, sedangkan pada saat itu ia berstatus menikah sekalipun mut’ah.

Ada juga yang berkilah bahwa itu semua sebagai upaya untuk menanggulangi perzinahan, dan prostitusi, yang mana HIV senantiasa mengintai. Ketahuilah wahai saudaraku kalau begitu mengapa Rasul Saw bersabda sbb;

Wahai para pemuda bagi siapa saja diantara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaklah menikah, adapun bagi yang belum mampu maka hendaklah BERPUASA……
Bukankah hadist diatas berbicara pernikahan permanen..??

Contoh pemecahan masalah yang mudah sekali walau tanpa pengetahuan agama yang luas.
Rokok di Indonesia sebagian besar ormas agama islam Indonesia mengharamkannya, termasuk para dokter sangat keras dalam melarang rokok, termasuk rokok sendiri melarang (silahkan baca dikardus/kotak rokok itu sendiri), walau demikian; ada juga yang menganggapnya makruh.

Disini penulis mengajak berfikir,

Jika rokok makruh; bukankah makruh maknanya dibenci, diharuskan untuk ditinggalkan, toh dilaksanakan tidak ada pahalanya sama sekali,malah justru dianggap tidak ada sikap berhati-hati (ihtiath) dalam beragama.

Dan jika rokok haram hukumnya; itu artinya kita menghisab dosa dan sedang meniup api neraka, dan diwajibkan untuk ditinggalkan, disediakan baginya pahala disisi Allah Swt.

Sekarang hukum yang mana akan anda pilih, dengan catatan;

a. Makruh: jika yang benar disisi Allah Swt rokok makruh hukumnya, itu artinya diharapkan untuk meninggalkannya

b. Haram: jika hukumnya haram yang benar disisi Allah Swt, itu artinya kita melanggar larangannya.

Menurut hemat penulis lebih baik kita mengambil hukum haram yang menjadi pegangan kita, mengapa..?? takut nanti hukum haramlah yang benar disisi Allah.
Kembali kepermasalahan nikah mut’ah diantara dua hal berikut;

a. Hukumnya Boleh
b. Hukumnya Haram

Menurut hemat penulis lebih baik kita mengambil hukum haram yang menjadi pegangan kita, mengapa..?? takut nanti hukum haramlah yang benar disisi Allah. Karena haram resikonya dosa dan neraka.

Tapi kalau kita mengambil hukum boleh sebagai keyakinan kita, namun yang benar disisi Allah Swt adalah haram, itu artinya kita sedang berkubang dalam kemaksiatan, dan larangan-Nya, namun dengan kebebalan dan hawa nafsu kita bersikeras meyakininya sebagai sesuatu hal yang dibolehkan. Hati-hatilah dalam beragama……..!!

Mereka tuli, bisu dan buta[*], Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)
, (QS. Al-Baqarah.18)

[*] Walaupun pancaindera mereka sehat mereka dipandang tuli, bisu dan buta oleh karena tidak dapat menerima kebenaran.
Berkata penyair;

Jika nafsu syahwat sebagai kendali, maka hendak kemana arah akan berlari



Oleh: Parwis L. Palembani

Tidak ada komentar: