www.agamamu.blogspot.com

www.agamamu.blogspot.com

Senin, 15 Maret 2010

No. 01 Th.I Rabiul Akhir H/Maret 2010 M
Dari kesalehan pribadi menuju kesalehan sosial
Pada dasarnya tujuan luhur agama islam adalah mengarahkan manusia pada fitrahnya yang suci, yang ia bawa semenjak lahir untuk bertuhan, dan melalui para rasulNya Allah swt, mengarah manusia ini tadi menuju cara bertuhan yang sesungguhnya yaitu bertauhid, dalam arti mengesahkan Allah swt dalam ibadah dan mengesahkanNya sebagai tuhan segala-galanya yang memiliki nama yang maha luhur dan sifat-sifatNya yang maha luhur.
Dalam segala sisi, syariat islam selalu mengenengahkan bentuk soaial kepada kaum fakir miskin, yatim piatu, dan kepada sesama yang tidak mampu, sekalipun pada awalnya terlihat sebuah bentuk ajaran beragama yang bersifat mutlak, tapi bila terus dipelajari dan dialami lebih dalam lagi, kesemua ajaran islam pasti akan bermuara pada bentuk kesalehan social yang bersifat kepedulian antar sesame .
Dalam surat Al.Ma’un ayat 1-7, berbunyi.
Tahukah kamu siapak orang yang mendustakan agama.??, mereka itulah orang yang menghardik anak yatim,dan tidak menganjurkan member makan fakir miskin, kecelakaanlah bagi orang shalat, yang mana mereka lalai dari shalatnya, juga mereka bersifat riya, dan sealu menghalangi untuk memberi.
Di ayat diatas sangat ditekan sekali jiwa sosial atau rasa kepedulian pada sesama, bahkan diperingatkan sebagai pendusta agamanya sendiri,

content













content








































Sabtu, 06 Maret 2010

HUKUM SUSU DAN AIR LIUR BINATANG

SUSU DAN LIUR HEWAN, SUCI ATAU NAJIS……???

1. Susu

Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata, susu ada empat macam:

Pertama: Susu hewan yang halal dagingnya seperti unta, sapi, domba, kuda dan lain-lain, ia suci berdasarkan ayat al-Qur`an dan hadits-hadits shahih, dan ia disepakati.
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (An-Nahl: 66).

Dan Nabi saw telah memerintahkan orang-orang Uraniyin minum susu unta, di samping beliau sendiri minum dan para sahabat juga minum.

Kedua: Susu anjing, babi dan yang lahir dari keduanya atau salah satunya, ia najis dengan kesepakatan.

Ketiga: Susu ibu, al-Anmathi Abu al-Qasim Usman bin Said bin Basysyar, salah seorang ulama dalam madzhab asy-Syafi'i, wafat tahun 280 H di Baghdad berkata, ia najis, ia boleh diminum oleh bayi karena dharurat. Imam an-Nawawi mengomentari pendapat ini. Pendapat ini bukan apa-apa, ia merupakan kekeliruan yang nyata.

Yang benar, air susu ibu suci dan pendapat yang berkata najis adalah pendapat aneh yang tidak perlu ditengok. Jika ASI najis, mengapa Allah memerintahkan ibu menyusui anaknya selama dua tahun? Jika ASI najis, berarti kita semua hidup dari sesuatu yang najis dan ini bertentangan dengan kemuliaan Bani Adam.

Keempat: Susu selain yang disebutkan di atas misalnya susu binatang buas yang bertaring seperti singa atau susu keledai.

Imam Abu Hanifah berkata, suci karena binatang ini adalah bintang yang suci selama ia hidup maka susunya juga suci.

Imam Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad berkata, najis karena susu seperti daging, jika daging hewan yang haram dimakan najis maka demikian pula susunya.

2. Liur

Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah sucinya liur hewan selain anjing dan babi, ini adalah pendapat Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Madzhab kami bahwa sisa minum kucing adalah suci tidak makruh, begitu pula sisa minum semua hewan: kuda, baghl, keledai, binatang buas, tikus, ular, cicak dan hewan-hewan yang lain, yang dimakan dagingnya atau tidak, sisa minum semua hewan tersebut dan keringatnya adalah suci tidak makruh kecuali anjing, babi dan yang lahir dari salah satu dari keduanya.”

Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni berkata, “Yang benar menurutku adalah sucinya baghl dan keledai karena Nabi saw mengendarai keduanya dan keduanya dikendarai pada zaman beliau, kalau keduanya najis maka Nabi saw pasti menjelaskannya.”

Rajihnya pendapat ini didukung oleh beberapa dalil, di antaranya:

Dalil yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah di atas, bahwa Nabi saw dan para sahabat mengendarainya, meskipun begitu Nabi saw tidak memerintahkan para sahabat agar menjaga diri darinya, dan menunda penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak dibolehkan.

Di samping itu Nabi saw bersabda tentang kucing, “Ia tidak najis, karena ia termasuk hewan yang ada di sekelilingmu.” (HR. Ashhab as-Sunan, dishahihkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nawawi dan lain-lain).

Sabda Nabi saw, “Yang ada di sekelilingmu.” Yakni di sekitarmu, di mana kamu sering berinteraksi dengannya dan sulit untuk menghindarinya, dan hal ini tidak hanya ada pada kucing saja.

Di samping itu kaidah dasar dalam masalah suci najisnya sesuatu berkata, pada dasarnya segala sesuatu itu suci.

Pendapat ini dikatakan oleh para ulama zaman ini seperti Ibnu Sa’di, muridnya Ibnu Utsaimin, dan Ibnu Ibrahim.

Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, fatwa nomor 8052, tercantum pertanyaan: Apa hukum yang rajih tentang sisa minum baghl, keledai, binatang buas dan burung pemangsa?

Jawabannya: Yang rajih adalah sucinya sisa minum baghl, keledai, binatang buas seperti serigala, macan dan singa, dan burung pemangsa seperti elang dan rajawali, inilah pendapat yang dinyatakan shahih oleh Abu Muhammad Ibnu Qudamah dalam al-Mughni dan inilah yang selaras dengan dali-dalil syar’i. Wallahu a'lam. (Izzudin Karimi).

My @mail coolparwis@yahoo.co.id my blog” www.agamamu.blogspot.com

HUKUM WANITA YANG SEDANG HAID MENYENTUH ALQURAN

WANITA HAID MENYENTUH DAN MEMBACA AL QUR’AN
1. Hukum menyentuh atau memegang mushaf al-Qur’an

Mereka yang melarang kaum wanita yang sedang haidh, nifas ataupun junub memegang mushaf al-Qur’an berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ

“..tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 79)

Makna yang haq, yang dimaksud oleh ayat di atas adalah: Tidak ada yang dapat menyentuh al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana yang telah ditegaskan oleh ayat sebelumnya [1], kecuali para malaikat yang disucikan oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Demikian tafsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Maka bukanlah yang dimaksud itu adalah larangan menyentuh atau memegang al-Qur’an oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan berhadats, baik berhadats besar maupun kecil.
Sebagian lagi berdalil dengan hadits:

لاَ يَمَسُ الْقُرْ اَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ
“Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” [2]

Makna yang haq dari hadits ini adalah: Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci (tidak najis) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:

إِنَّ الْــمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ

“Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.”[3]

Lafadz thaahir pada hadits sebelumnya memiliki beberapa arti yaitu: Suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil, dan suci dalam arti orang mu’min. Untuk menentukan salah satu dari tiga macam arti lafadz thaahir, maka harus ada qarinah (tanda atau alamat) yang membawa atau menentukan salah satu maksudnya.
Hadits di atas telah menjadi qarinah (tanda atau alamat) atas hadits sebelumnya, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan (meniadakan) kenajisan bagi orang-orang mu’min, maka mafhumnya orang-orang yang beriman itu suci.


2. Hukum membaca al-Qur’an

Banyak wanita yang menahan hafalan al-Qur’an-nya atau kecintaannya membaca al-Qur’an, hanya karena riwayat-riwayat yang diketahuinya melarang seorang wanita membaca al-Qur’an ketika dia sedang haidh, nifas, dan dalam keadaan junub. Berikut ini beberapa riwayatnya:
Dari Ibnu ‘Umar (ia berkata), dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda
لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَ لاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ

“Janganlah wanita yang haidh dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Dalam riwayat lain:
لاَ تَقْرَإِ الْجُنُبُ وَ لاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ

“Janganlah orang yang junub dan wanita yang haidh membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Riwayat ini Dha’if/lemah. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 121, Ibnu Majah (no. 595 dan 596), ad-Daruquthni (I/117) dan al-Baihaqy (I/89), dari jalan Isma’il bin ‘Ayyaasy dari Musa bin ‘Uqbah dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar (seperti di atas).
Imam Bukhari mengatakan: ‘Isma’il (bin ‘Ayyasy) adalah munkarul hadits (hadits-haditsnya munkar).
Hadits yang lain, diriwayatkan dari jalan Jabir bin ‘Abdullah:
Dari Muhammad bin Fadhl, dari bapaknya (Fadhl), dari Thawus, dari Jabir, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَ لاَ النَّفَسَاءُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ

“Tidak boleh bagi wanita yang haidh dan nifas membaca (ayat) sedikitpun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Riwayat ini Maudhu’/palsu. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (II/87) dan Abu Nua’im di kitabnya al-Hilyah(IV/22).
Sanad hadits ini palsu karena Muhammad bin Fahdl bin ‘Athiyyah bin ‘Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai seorang pendusta sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqribut Tahdzib (II/200).
Ketika hadits-hadits di atas telah jelas derajatnya, maka mari kita menengok beberapa riwayat shahih yang berkaitan dengan masalah ini:
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mendapati dirinya haidh ketika sedang menunaikan ibadah haji, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

فَإِنَّ ذَلِكَ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ اَدَمَ، فَا فْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُــوْفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ

“Sesungguhnya (haidh) ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji, selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haidh).”[4]

Hadits ini dijadikan dalil oleh para ulama di antaranya Imam Bukhari, Imam Ibnu Baththal, Imam ath-Thabari, Imam Ibnu Mundzir dan lainnya bahwa wanita yang haidh, nifas, dan orang junub boleh membaca al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang berhaji selain thawaf dan tentunya juga terlarang baginya untuk shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca al-Qur’an. Karena jika membaca al-Qur’an terlarang baginya (wanita yang haidh), maka tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada ‘Aisyah. Sedangkan ‘Aisyah saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa-apa yang boleh dan terlarang baginya. Dan menurut kaidah ushul fiqh “tidak boleh mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.” Dan hadits yang lain: Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَذْ كُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaan.”[5]

Hadits ini dijadikan hujjah oleh Imam Bukhari dan ulama yang lain tentang bolehnya orang yang sedang junub dan wanita haidh atau nifas membaca al-Qur’an. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaan dan yang termasuk berdzikir adalah membaca al-Qur’an.
Meskipun demikian, menyebut nama Allah atau membaca al-Qur’an dalam keadaan suci (berwudhu’) adalah lebih utama berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أْذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ (أَوْ قََالَ: عَلَى طَهَارَةِ(

“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (atau berwudhu’).” Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya. Dinukil dari tulisan Ust. Abdul Hakim bin Amir abdat Oleh Fathur Rahman (Direktur eLKISI)

Jumat, 05 Maret 2010

BAHAYA SYIRIK

MEMAKAI GELANG DAN SEJENISNYA
UNTUK MENANGKAL BAHAYA ADALAH
PERBUATAN SYIRIK
Firman Allah I :

“Katakanlah (hai Muhammad kepada orang-orang musyrik): terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemadharatan kepadaku, apakah berhala berhala itu dapat menghilangkan kemadharatan itu? atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku apakah mereka mampu menahan rahmat-Nya? katakanlah: cukuplah Allah bagiku, hanya kepada-Nyalah orang-orang yang berserah diri bertawakkal.” (QS. Az Zumar: 38).


Kitab Tauhid 51

Imran bin Husain t menuturkan bahwa Rasulullah r melihat seorang laki-laki memakai gelang yang terbuat dari kuningan, kemudian beliau
bertanya:

“Apakah itu? orang laki-laki itu menjawab: “gelang penangkal penyakit”, lalu Nabi bersabda: “lepaskan gelang itu, karena sesungguhnya ia tidak akan menambah kecuali kelemahan pada dirimu, dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selamalamanya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang bias diterima)

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad pula dari Uqbah bin Amir, dalam hadits yang marfu’, Rasulullah r
bersabda:

“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (21) maka Allah tidak akan mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa yang menggantungkan Wada’ah (22)

(21) Tamimah: sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal atau pengusir penyakit, pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang, dan lain sebagainya.

(22) Wada’ah: sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah kerang; menurut anggapan orang-orang jahiliyah dapat digunakan sebagai penangkal penyakit. Termasuk dalam pengertian ini adalah jimat.



maka Allah tidak akan memberikan ketenangan kepadanya” dan dalam riwayat yang lain Rasul bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan tamimah maka ia telah berbuat kemusyrikan”.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa ia melihat seorang laki-laki yang di tangannya ada benang untuk mengobati sakit panas, maka dia putuskan benang itu seraya membaca firman AllahI:

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan lain)". (QS. Yusuf: 106).

Kandungan bab ini:

1. Larangan keras memakai gelang, benang dan sejenisnya untuk tujuan-tujuan seperti tersebut di atas.

2. Dikatakan bahwa sahabat Nabi tadi apabila mati sedangkan gelang (atau sejenisnya) itu masih melekat pada tubuhnya, maka ia tidak akan beruntung selamanya, ini menunjukkan kebenaran pernyataan para sahabat bahwa syirik kecil itu lebih berat dari pada dosa besar.

3. Syirik tidak dapat dimaafkan dengan alasan tidak tahu.

4. Gelang, benang dan sejenisnya tidak berguna untuk menangkal atau mengusir suatu penyakit, bahkan ia bisa mendatangkan bahaya, seperti sabda Nabi Muhammad r: “…

Kitab Tauhid 53
karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu”.

5. Wajib mengingkari orang-orang yang melakukan perbuatan di atas.

6. Penjelasan bahwa orang yang menggantungkan sesuatu dengan tujuan di atas, maka Allah akan menjadikan orang tersebut memiliki
ketergantungan pada barang tersebut.

7. Penjelasan bahwa orang yang menggantungkan tamimah telah melakukan perbuatan syirik.
8. Mengikatkan benang pada tubuh untuk mengobati penyakit panas adalah bagian dari syirik.

9. Pembacaan ayat di atas oleh Hudzaifah menunjukkan bahwa para sahabat menggunakan ayat-ayat yang berkaitan dengan syirik akbar


sebagai dalil untuk syirik ashghar (kecil), sebagaimana penjelasan yang disebutkan oleh Ibnu Abbas dalam salah satu ayat yang ada dalam surat Al Baqarah (23).

10. Menggantungkan Wada’ah untuk mengusir atau menangkal penyakit, termasuk syirik.

11. Orang yang menggantungkan tamimah didoakan: “semoga Allah tidak akan mengabulkan keinginannya” dan orang yang menggantungkan wada'ah didoakan: “semoga Allah tidak memberikan ketenangan pada dirinya.”

WASPADALAH TERHADAP KATA-KATA KAFIR
Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at merupakan sikap ekstrim yang ujung-ujungnya adalah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan). Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama (Lembaga Perkumpulan Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri Islam dan negeri lain, tentang takfir dan tafjir serta dampak yang ditimbulkan, baik berupa penumpahan darah maupun perusakan fasilitas-fasilitas umum. Beliau-beliau akhirnya menyampaikan penjelasan secara tertulis yang kami ringkas sebagai berikut.
Takfir (Menetapkan Hukum Kafir) Merupakan Hukum Syar’i
Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, maka penetapan hukum kafir juga harus dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang disebut kufur berarti Kufur Akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Mengkafirkan seseorang tidak boleh dilakukan kecuali bila Al-Qur’an dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya dengan bukti yang jelas, sehingga tidak cukup berdasarkan dugaan saja.
Itulah sebabnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar jangan sampai mengkafirkan orang yang tidak kafir. Beliau bersabda yang artinya, “Siapapun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya ‘Hai Kafir’, maka perkataan itu akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika perkataan itu benar, (maka benar). Tetapi bila tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri orang yang mengatakannya.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)
Vonis kafir hanya bisa ditetapkan bila sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada, dan faktor penghalangnya tidak ada. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat-syarat tersebut yaitu bila orang tersebut: (1) Mengetahui atau memahami apa yang diucapkannya, maka bila ia (2) Dengan senang hati/ tidak terpaksa dan (3) Sengaja dalam

mengucapkan apa yang dikatakannya; maka inilah yang perkataannya teranggap sebagai pembataal keislaman. Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin lancang menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan dugaan??
Apabila ternyata tuduhan kafir ini ditujukan kepada para penguasa (muslim), maka persoalannya jelas lebih parah lagi. Akibatnya akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap penguasa, angkat senjata melawan mereka, kekacauan, menumpahkan darah dan membuat keonaran di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang pemberontakan kepada penguasa. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “….kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata, yang tentangnya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubaidah)
Dampak Mudah Mengkafirkan
Yaitu menumpahkan darah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta milik orang-orang tertentu atau orang umum, peledakan tempat-tempat pemukiman serta angkutan-angkutan umum dan perusakan bangunan-bangunan. Kegiatan-kegiatan ini dan yang semisalnya adalah haram menurut syari’at berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Berkenaan dengan jiwa orang kafir yang berada dalam jaminan keamanan dari pemerintah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian (damai), maka ia tidak akan mencium baunya sorga.” (Muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amr)