www.agamamu.blogspot.com

www.agamamu.blogspot.com

Sabtu, 06 Maret 2010

HUKUM WANITA YANG SEDANG HAID MENYENTUH ALQURAN

WANITA HAID MENYENTUH DAN MEMBACA AL QUR’AN
1. Hukum menyentuh atau memegang mushaf al-Qur’an

Mereka yang melarang kaum wanita yang sedang haidh, nifas ataupun junub memegang mushaf al-Qur’an berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ

“..tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 79)

Makna yang haq, yang dimaksud oleh ayat di atas adalah: Tidak ada yang dapat menyentuh al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana yang telah ditegaskan oleh ayat sebelumnya [1], kecuali para malaikat yang disucikan oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Demikian tafsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Maka bukanlah yang dimaksud itu adalah larangan menyentuh atau memegang al-Qur’an oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan berhadats, baik berhadats besar maupun kecil.
Sebagian lagi berdalil dengan hadits:

لاَ يَمَسُ الْقُرْ اَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ
“Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” [2]

Makna yang haq dari hadits ini adalah: Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci (tidak najis) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:

إِنَّ الْــمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ

“Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.”[3]

Lafadz thaahir pada hadits sebelumnya memiliki beberapa arti yaitu: Suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil, dan suci dalam arti orang mu’min. Untuk menentukan salah satu dari tiga macam arti lafadz thaahir, maka harus ada qarinah (tanda atau alamat) yang membawa atau menentukan salah satu maksudnya.
Hadits di atas telah menjadi qarinah (tanda atau alamat) atas hadits sebelumnya, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan (meniadakan) kenajisan bagi orang-orang mu’min, maka mafhumnya orang-orang yang beriman itu suci.


2. Hukum membaca al-Qur’an

Banyak wanita yang menahan hafalan al-Qur’an-nya atau kecintaannya membaca al-Qur’an, hanya karena riwayat-riwayat yang diketahuinya melarang seorang wanita membaca al-Qur’an ketika dia sedang haidh, nifas, dan dalam keadaan junub. Berikut ini beberapa riwayatnya:
Dari Ibnu ‘Umar (ia berkata), dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda
لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَ لاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ

“Janganlah wanita yang haidh dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Dalam riwayat lain:
لاَ تَقْرَإِ الْجُنُبُ وَ لاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ

“Janganlah orang yang junub dan wanita yang haidh membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Riwayat ini Dha’if/lemah. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 121, Ibnu Majah (no. 595 dan 596), ad-Daruquthni (I/117) dan al-Baihaqy (I/89), dari jalan Isma’il bin ‘Ayyaasy dari Musa bin ‘Uqbah dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar (seperti di atas).
Imam Bukhari mengatakan: ‘Isma’il (bin ‘Ayyasy) adalah munkarul hadits (hadits-haditsnya munkar).
Hadits yang lain, diriwayatkan dari jalan Jabir bin ‘Abdullah:
Dari Muhammad bin Fadhl, dari bapaknya (Fadhl), dari Thawus, dari Jabir, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَ لاَ النَّفَسَاءُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ

“Tidak boleh bagi wanita yang haidh dan nifas membaca (ayat) sedikitpun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Riwayat ini Maudhu’/palsu. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (II/87) dan Abu Nua’im di kitabnya al-Hilyah(IV/22).
Sanad hadits ini palsu karena Muhammad bin Fahdl bin ‘Athiyyah bin ‘Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai seorang pendusta sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqribut Tahdzib (II/200).
Ketika hadits-hadits di atas telah jelas derajatnya, maka mari kita menengok beberapa riwayat shahih yang berkaitan dengan masalah ini:
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mendapati dirinya haidh ketika sedang menunaikan ibadah haji, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

فَإِنَّ ذَلِكَ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ اَدَمَ، فَا فْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُــوْفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ

“Sesungguhnya (haidh) ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji, selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haidh).”[4]

Hadits ini dijadikan dalil oleh para ulama di antaranya Imam Bukhari, Imam Ibnu Baththal, Imam ath-Thabari, Imam Ibnu Mundzir dan lainnya bahwa wanita yang haidh, nifas, dan orang junub boleh membaca al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang berhaji selain thawaf dan tentunya juga terlarang baginya untuk shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca al-Qur’an. Karena jika membaca al-Qur’an terlarang baginya (wanita yang haidh), maka tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada ‘Aisyah. Sedangkan ‘Aisyah saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa-apa yang boleh dan terlarang baginya. Dan menurut kaidah ushul fiqh “tidak boleh mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.” Dan hadits yang lain: Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَذْ كُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaan.”[5]

Hadits ini dijadikan hujjah oleh Imam Bukhari dan ulama yang lain tentang bolehnya orang yang sedang junub dan wanita haidh atau nifas membaca al-Qur’an. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaan dan yang termasuk berdzikir adalah membaca al-Qur’an.
Meskipun demikian, menyebut nama Allah atau membaca al-Qur’an dalam keadaan suci (berwudhu’) adalah lebih utama berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أْذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ (أَوْ قََالَ: عَلَى طَهَارَةِ(

“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (atau berwudhu’).” Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya. Dinukil dari tulisan Ust. Abdul Hakim bin Amir abdat Oleh Fathur Rahman (Direktur eLKISI)

Tidak ada komentar: